
Orangnya ramah, saya dipersilakan masuk ke dalam rumahnya di Ternate, Maluku Utara, dan memperkenalkan diri. Setelah berbasa-basi, saya memintanya untuk menceritakan pengalamannya 40 tahun yang lalu, saat ia masuk dalam rombongan pasukan TNI AU yang menjemput Nakamura.
Sambil menghisap sebatak rokok kretek miliknya, Faizal menerawang kembali ke masa lalu. Ia ingat, pada waktu itu, sebelum penjemputan Nakamura, sudah tersiar kabar dari kalangan penduduk di Pulau Morotai bahwa ada prajurit Jepang, veteran Perang Dunia Kedua yang masih bertahan di hutan Desa Pilowo.
Pada waktu itu, ada seorang warga Desa Pilowo bernama Luther Goge yang melapor ke Kapolek Pulau Morotai, Kapten Lawalata tentang adanya prajurit Jepang yang bersembunyi di hutan. Berdasarkan keterangan Luther, lanjut Faizal, bahwa ayahnya yang bernama Baicoli, bersahabat dengan Nakamura selama puluhan tahun.
Ayahnya bertemu Nakamura saat sedang berburu babi hutan. Dari pertemuan itu, mereka bersahabat. Baicoli kerap mengunjungi Nakamura di tempat persembunyiannya untuk membawakan bahan-bahan makanan yang dibutuhkan seperti gula, garam, atau teh.
Kegiatan Baicoli itu pada awalnya sama sekali tak diketahui oleh Luther. Hingga akhirnya, menjelang ayahnya meninggal, Luther diberi wasiat untuk melanjutkan persahabatan dengan Nakamura dan menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang diinginkannya.
Luther kemudian dikenalkan oleh ayahnya kepada Nakamura. Setelah ayahnya meninggal, Luther yang melanjutkan persahabatannya itu. Namun, Luther juga pada 1974, mulai merasakan hidupnya tak akan lama lagi. Ia pun khawatir dengan keadaan Nakamura.
Luther tak memiliki anak yang akan melanjutkan hubungannya dengan Nakamura. Akhirnya, ia melaporkan tentang persahabatannya itu kepada Kapolsek Pulau Morotai. Pada awalnya, Kapten Lawalata selaku kapolsek belum meyakini laporan dari Luther Goge itu. Sehingga, ia melaporkan hal tersebut kepada Komandan Pangkalan Udara TNI AU di Pulau Morotai, Kapten Supardi.
Kapten Supardi-lah yang memutuskan untuk menjemput Nakamura. Sebuah tim penjemput beranggotakan sebanyak 20 orang disiapkan dan Supardi memimpin penjemputan itu. Faizal, yang saat itu baru berusia 24 tahun, diajak ikut serta oleh Supardi menjadi bagian dari tim. Ia yang pada waktu itu menjadi kontributor RRI Ternate di Pulau Morotai, menjadi satu-satunya wartawan yang meliput di Pulau Morotai.
Demikian artikel tentang Tentara Jepang Hidup di Hutan Indonesia 30 Tahun ini dapat kami sampaikan, semoga artikel atau info tentang Tentara Jepang Hidup di Hutan Indonesia 30 Tahun ini, dapat bermanfaat. Jangan lupa dibagikan juga ya! Terima kasih banyak atas kunjungan nya.